Mensikapi maraknya bahasan politik di Wordpress, terkait pelaksanaan PEMILU Legislatif pada tanggal 9 April 2009 dilanjutkan dengan pemilihan Presiden, mengusik hati penulis untuk urun rembug berbicara tentang politik.
Dari background keilmuan jelas sekali tidak nyambung (saya lulusan Biologi), dari sisi pengalaman ibarat bunga yang masih kuncup, layu sebelum berkembang. Hanya sisi keberanian untuk mengungkapkan pendapat saja yang menjadi pemicu utama kenapa tulisan ini bisa sampai kehadapan para pembaca.
Yang membuat miris penulis adalah sikap pesimistis dari kebanyakan warga Indonesia dalam menghadapi PEMILU. Setelah beberapa kali pelaksanaan PEMILU, dan tidak ada perubahan kearah yang lebih baik nampaknya menjadi salah satu alasan bagi warga untuk bersikap GOLPUT.
GOLPUT tentu saja tidak dapat dipersalahkan, karena tidak ada perangkat hukum yang akan menjerat kita apa bila kita tidak berpartisipasi dalam PEMILU. Himbauan Gus Dur untuk GOLPUT beberapa hari yang lalu, lebih mencuatkan tendensi pribadi dan bukan merupakan pemecah masalah yang dialami bangsa.
GOLPUT Bukan Solusi
Dalam PEMILU Legislatif (sebenarnya ini istilah yang salah. Seharusnya PEMILU Legislator, karena legislatif adalah sebuah kelembagaan negara/institusi, sementara legislator adalah orang berada di legislatif) tidak ada hubungan antara jumlah pemilih dengan jumlah kursi yang diperebutkan. Berapapun jumlah pemilih akan menjadi faktor pembagi bagi para Caleg untuk duduk di legislatif.
GOLPUT-pun tidak memberikan dampak positif terhadap kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah. Kita tetap akan menjadi konsumen kebijakan, suka ataupu tidak.
Contohnya ketika kenaikan BBM, orang yang partisan suatu Partai dengan orang yang GOLPUT tetap mengalami dampak yang sama. Tidak ada kebijakan karena GOLPUT maka ketika beli BBM harga yang diperlakukan adalah harga yang lama.
GOLPUT juga mencerminkan sikap orang yang tidak bertanggungjawab. Memilih memang hak, tapi ikut serta menentukan kebijakan negara adalah suatu kewajiban. GOLPUT lebih cenderung lepas tangan terhadap permasalahan bangsa. Ketika bangsa ini mengalami kemunduran mereka akan menyatakan tidak bertanggungjawab karena tidak ikut memilih dalam pemilu. Namun ketika bangsa ini mengalami kemajuan, maka mereka akan menempatkan diri sebagai seorang oposan (oposisi) yang pandai mengkitik kekurangan orang lain.
Saya contohkan ibarat kita nonton sepakbola, ketika seorang C. Ronaldo (saya cq. pemain MU, habis ngefans sama MU sih...) tidak dapat melesakkan bola ke dalam gawang padahal tinggal berhadapan one by one dengan penjaga gawang, mungkin kita akan meneriakinya "bodoh", "goblok", "tolol" dan sejenisnya. Padahal orang yang menonton tadi jelas-jelas tidak lebih pintar bermain sepakbola dibandingkan C. Ronaldo.
Di tanggal 9 April 2009 nanti, mari kita tanya nurani kita. Akan menjadi penonton ataukah pemain ?
Bersikap Aktif
Bersikap aktif jangan diartikan bahwa penulis mengajak para pembaca untuk menjadi partisan suatu partai. Bersikap aktif berarti menjadi warga yang bertanggungjawab menuntuk hak sebagai seorang pemilih sekaligus menjalankan kewajiban sebagai penentu arah perjalanan bangsa.
Ketika ada pendataan Pemilih Sementara, mungkin hanya sebagain kecil dari kita yang peduli. Ketika Ditetapkan Daftar Pemilih Tetap, sebagian diantara kita juga tak peduli. Ketika waktu pemilu tidak ikut memilih, paling cuman bisa berujar "siapa peduli..???".
Pertanyaan sederhana dari penulis, kenapa sih kita tidak bisa meluangkan waktu sebentar untuk bertanya pada pak RT, sudahkan masuk daftar Pemilih sementara. Atau ke Kelurahan untuk melihat apakah kita sudah terdaftar sebagai Pemilih Tetap. Begitu sulitkah kita berbuat hal yang kecil untuk negara ini ???
"Jangan kau tanya apa yang telah negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kau berikan kepada negara"
Multi-Partai
Multi partai yang dianut negara kita memang memungkinkan siapapun untuk dengan leluasa mendirikan Partai. Disatu sisi memiliki nilai positif, karena kita mengenyam arti demokrasi sesungguhnya. Dilain sisi, membuat calon pemilih kebingungan. Kok gitu..??. Maaf maaf saja 50% lebih warga Indonesia hanya lulusan SD atau dibawahnya. Jadi ketika KPU akan menetapkan dicoblos atau dicontreng, KPU pun kebingungan. Karena dari hasil simulasi PEMILU, banyak warga negara kita ini yang tidak tahu apa itu di "contreng".... duh....gusti.
Kaum intelektualpun, tidak sedikit yang kebingungan untuk menentukan pilihan akibat asas Multi Partai yang dianut. Sekali lagi penulis mengajak kepada para pembaca untuk meluangkan waktu berinteraksi dengan orang-orang partai (Caleg/Pengurus Partai), untuk melaksanakan sharing. Sehingga kita tahu apa program-programnya dan menjadi suatu referensi bagi kita untuk menentukan pilihan politik.
Sedikit penulis akan memberikan panduan jika anda kebingungan menentukan pilihan Partai mana yang akan anda pilih.
1. Klasifikasikan partai yang ada (38 partai) ke dalam 3 kelompok besar. Agamis (partai Islam), Nasionalis, dan Partai non-Islam. Dan kemudian anda pilih salah satu.
2. Langkah kedua, anda pisahkan partai mana yang punya dosa-dosa masa lalu yang anda anggap gagal ketika di beri kepercayaan.
3. Pilih partai yang memiliki track record yang bagus (kecuali anda memilih partai baru, maka abaikan point 3 dan lanjut ke point 4.)
4. Langkah keempat pilih Caleg yang Ikhlas, Amanah, Istiqomah, Jamaah dan Imamah. Orang yang anda anggap mampu menyuarakan suara anda.
5. Langkah terakhir, berdo'a mudah-mudahan pilihan anda tepat sehingga anda tidak menyesal dikemudian hari.